Saturday, October 16, 2010

Fiksi CCJKT #2: Bunga, Nama Tidak Sebenarnya

Bibir mungil namun penuh itu dengan sigapnya menghisap kuat kuat rokok Sampurna. Dengan perlahan ia menghembuskan asap rokok tersebut, menikmati sensasi nikmatnya candu nikotin yang menenangkan. Matanya yang sayu, melihat ruangan dimana ia berada sekarang,



Sarah, Euis, Eneng, Tati, dan ia sendiri Bunga, sedang berkumpul bersama, menghabiskan waktu, menunggu datangnya pelanggan. Ruangan itu sebenarnya adalah sebuah ruang tamu sederhana yang biasa ada di rumah petak yang kecil, namun dengan sedemikian rupa, disulap menjadi suatu exhibition window yang memperlihatkan kemolekan gadis gadis yang siap menemani malam para pelanggan yang datang. Dengan mengenakan tanktop string dan celana pendek ketat, Bunga dengan luwesnya bercengkrama dengan teman temannya, dengan sesekali melirik ke luar ruangan, berharap cemas, apakah malam ini dia akan menghabiskan waktu dengan seorang pria ataukah hanya bergelung tertidur pulas di kamar kontrakannya yang sempit.



Sebagai seorang wanita malam yang memilih Saritem sebagai tempatnya untuk mencari uang, Bunga seperti banyak wanita wanita “pemula” lain yang secara tidak sengaja, terjebak dalam lingkaran setan untuk bekerja sebagai partner pemuas kebutuhan purba manusia. Bunga sebenarnya adalah seoarang wanita yang cerdas, tidak seperti rekannya kebanyakan yang berotak kosong, dan hanya bisa mengandalkan tubuhnya untuk mencari uang, Bunga memiliki otak yang cerdas, karena dia adalah lulusan salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung, hanya karena hasrat kenakalannya sajalah dan keadaan orang tuanya yang memiliki ekonomi pas pasan, membuat ia tidak mempunyai pilihan lain. Walau factor orang lainlah yang memaksa Bunga harus mengambil pilihan untuk bekerja sebagai wanita malam.



Seperti kebanyakan para anak muda, dimana lonjakan adrenalin, keinginan untuk membuktikan eksistensinya, pencarian jati diri, dan kewajiban untuk bisa diterima oleh golongannya, Bunga memiliki kebiasaan untuk menggunakan obat obatan terlarang, walau sedikit kadarnya, hanya dilakukannya apabila ia sedang berkumpul dengan teman teman satu gengnya. Namun malang tak dapat dihindari, pada suatu Malam, secara tidak sengaja, Bunga dan teman temannya tertangkap razia Narkoba yang diadakan oleh Polisi setempat. Dengan suksesnya, urine Bunga melonjak kegirangan menunjukkan tanda positif mengandung zat yang dilarang dalam jumlah yang berlebihan.



Merasa Malu dan tidak punya pilihan, Bunga memilih untuk tidak melibatkan kedua orang tuanya, yang hidup jauh di Nusa Tenggara sana, Bunga sudah terbiasa hidup mandiri dan jauh dari orang tua sejak SMA, Hal tersebut membuat Bunga menjadi pribadi yang keras, dan sebisa mungkin ingin menyelesaikan segala permasalahan yang ia hadapi dengan usahanya sendiri.



Satu tahun kurungan, vonis yang dijatuhkan oleh pihak yang berwajib kepada Bunga. Suatu putusan yang dijatuhkan hanya karena Bunga tidak bisa memberikan uang damai kepada pihak yang berwajib, dengan permasalahan dan segala bukti yang memberatkan, Bunga diharuskan membayar uang jaminan sebesar 10 juta rupiah jika ingin tidak ditahan. Dengan menghela nafas panjang, Bunga hanya bisa pasrah, walau bagaimanapun juga Bunga berusaha untuk mengambil hikmah positif dari tiap permasalahan yang ia hadapi selama ini.



Termenung, bersandarkan pada dinding penjara yang dingin, Bunga dengan malasnya menyuap Nasi campur sop ayam yang sudah dingin ke mulutnya, baru satu minggu ia mendiami penjara, namun pada hari pertama, Bunga sudah merasa tidak betah. Bunga berpikir, ia ingin sekali bebas dari penjara, ia tidak ingin hidupnya hanya terbatas di ruangan 4x4 meter, bersama dengan perempuan perempuan yang menurut Bunga adalah perempuan yang galak dan tidak bisa menjaga emosi. Dua hari setelahnya, petugas penjara dengan senyum aneh, mengatakan pada Bunga, bahwa Bunga sudah boleh bebas. Dengan bertanya Tanya heran, Bunga menanyakan sebabnya. Petugas hanya memandang Bunga dengan senyum licik.



“Temui saja ibu yang lagi nungguin kamu di luar itu”, kata petugas tersebut sambil menunjuk seorang perempuan dewasa yang sedang memandang Bunga. Dengan heran, Bunga pun menemui perempuan tersebut, dan bertanya, apa maksud semua ini.



Kerja sama yang sangat indah, pihak berwajib, mucikari lokalisasi yang sedang butuh anggota baru, semuanya kerja sama dengan satu tujuan yang sama: Uang. Batin bunga saat ini, peristiwa 6 Bulan yang lalu itu masih saja menempel lekat di benaknya. Ibu Lastri, nama perempuan yang membebaskan Bunga dengan membayarkan uang jaminan sebesar 10 juta itu, memberikan pilihan yang tidak bisa Bunga tolak, ia bilang Bunga memiliki hutang kepadanya, dan ia bilang jika Bunga bisa membayarnya dengan bekerja di bawahnya. Sungguh pilihan yang sulit, karena Ibu Lastri mengancam, jika Bunga menolak, maka ada kemungkinan Bunga mendapatkan perlakuan atau bahkan pelecehan yang dilakukan oleh oknum berwajib yang sudah saling mengenal dengan Ibu Lastri. Hal tersebut terang saja membuat Bunga ketakutan setengah mati. Semuanya telah diatur, dari mulai penangkapannya, masuknya ia ke penjara, dan jatuhnya ia ke tangan Mucikari Saritem yang satu ini. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Bunga selain menyetujuinya.



Bunga tidak ada masalah dengan melakukan perbuatan hubungan suami istri, namun, dalam mimpi terburukpun, Bunga tidak pernah membayangkan dirinya sebagai penghuni Saritem. Namun semuanya harus dijalani, ia tetap tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir, sebagai Mahasiswi yang lulus dengan nilai yang rendah, Bunga juga sadar tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik untuk sementara ini, apalagi saat ini ia diwajibkan untuk membayar hutangnya pada Ibu Lastri. Bermula dari seorang pemula yang masih tidak tahu apa yang harus dilakukan jika sudah bersama dengan pelanggan yang memilihnya di kamar tidur, hingga menjadi perempuan yang lumayan dicari di Saritem. Mau tidak mau, Bunga menikmati pekerjaannya ini. Walaupun hutangnya sudah lunas dari tiga Bulan yang lalu, Bunga tetap belum meninggalkan daerah Saritem, satu sisi dia sudah terbiasa melakukannya, dan ia belum menemukan kesempatan bekerja yang lain.



Bunga menghisap rokoknya kembali, jam menunjukkan waktu 8 malam, Hari masih sore batinnya. Dengan enggan ia mengambil Koran hari ini yang ada di ruang tamu, Koran yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai pajangan saja, karena pelanggan yang datang hampir tidak pernah menyentuhnya. Bunga membalik balikan Koran tersebut, semuanya hanya memberitakan kebodohan pemerintah negeri ini. Presiden yang entah dengan pertimbangan apa, membatalkan kunjungannya ke Luar Negeri, para anggota DPR yang hanya bisa memperkaya diri dengan usulan proyek proyek yang tidak penting namun biayanya luar biasa Mahal, perampokan di mana mana, tawuran antar geng yang entah bagaimana, bisa berlangsung di depan pengadilan.



Dengan tersenyum sinis, Bunga berpikir bahwa pekerjaannya lebih Mulia daripada mereka semua, paling tidak pekerjaan yang ia lakukan dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan pelanggannya, serta tidak mengganggu orang lain, politik, gossip, dan berbagai macam berita yang hanya bisa membuat bulu kuduk pembacanya berdiri ngeri …. Negeri ini memang sudah menjadi Barbar pikir Bunga, di halaman terakhir, sekilas Bunga membaca telah ditemukannya mayat seorang Mahasiswa ITTelkom di sungai depan kampus ITTelkom. Terpampang passphoto 3x4 Mahasiswa tersebut, Bunga berpikir, kasihan sekali, dengan umur semuda itu, sudah tiada meninggalkan dunia. Dengan bergidik ngeri, Bunga berpikir bahwa di Bandung, keamanan juga sudah menjadi harga yang Mahal, apalagi sejak adanya kasus geng motor yang akhir akhir ini sering menjadi Headline berita.





“Bunga ?? Bunga ??”, panggil seorang laki laki.



Panggilan tersebut membuat Bunga tersadar dari lamunannya, “Hmm, saatnya bekerja”, Batin Bunga



“Iya Mang Ujang, Bunga datang”, jawab Bunga dengan suara Manja.



Seperti banyak tukang ojek yang sering Mangkal di Saritem, Mang Ujang adalah seorang Guide Saritem yang nyambi sebagai Tukang Ojek, atau Tukang Ojek yang nyambi sebagai Guide Saritem. Yang jelas, sudah menjadi tugas buat Mang Ujang untuk stand by di jalanan Saritem, dan menawarkan jasa untuk mengantarkan pelanggan atau calon pelanggan atau bahkan orang yang cuman iseng ingin melihat seperti apa Saritem itu. Jika ada pelanggan yang berminat, Mang Ujang bisa mengantar pelanggan tersebut kepada para wanita yang ia kenal. Mang Ujang juga kadang mengantarkan wanita tersebut ke Hotel yang sudah disewa oleh pelanggan terlebih dahulu.



Bunga dan Mang Ujang sudah berteman sejak lama. Mang Ujang orangnya baik, dan bagi Bunga, ia sudah menjadi seperti Kakaknya sendiri, Mang Ujang melindunginya, bisa menjadi teman curhatnya, dan sudah beberapa kali mengantar Bunga ke klinik untuk memeriksakan kesehatan kelaminnya.



“Neng Bunga, ini Mang Ujang nganterin temen buat eneng, baru pertama kali kesini katanya neng”, ujar Mang Ujang.



“wah, orang baru nih”, batin Bunga, sudah terbayang dalam pikiran Bunga, bahwa ia harus menghabiskan beberapa waktu untuk memulai semuanya dengan obrolan basa basi. Hal tersebut membuat sedikit banyak, orderan yang diterima Bunga menjadi berkurang dalam satu malam yang sama.



Dengan berjalan pelan, Bunga keluar dari ruangan, ia melihat Mang Ujang sedang menggandeng seorang pria yang sedang gelisah mengengok ke sana kemarin. Kemudian pria itu pun menengok lurus, dan melihat wajah Bunga.



Dengan terkejut, Bunga berkata,



“Kamu ??!?!”

No comments:

Post a Comment